Membezuk seorang teman yang
dirawat karena kanker payudara stadium 4 di sebuah rumah sakit di daerah
Rawamangun Jakarta Timur menyisakan catatan tersendiri untukku. Mungkin ini
bisa memberi manfaat atau sekedar memberi pencerahan hati buat temen-temen
pembaca (mudah-mudahan) maka aku share disini.
Saat aku bezuk, kondisi temanku
ini sudah sedemikian parahnya dan yang membuat aku terenyuh tidak saja kondisi
si teman ini tapi juga suaminya yang tentunya sudah sedemikian lamanya
mendampingi istrinya mencari pengobatan. Wajahnya teramat lelah, tentunya bukan
karena dia tak lagi sayang pada istrinya atau karena dia bosan merawat
istrinya…yang kulihat adalah potret sebuah keputusasaan dan kelelahan jiwa yang
tak tergambar betapa berat melaluinya. Seandainya dia perempuan, ingin sekali
aku memeluknya, menghiburnya dan manabahkannya, ya..karena aku tahu persis rasanya
berada dalam posisi dia.
Tak berapa lama setelah kejadian
itu, seorang teman mengajakku untuk bezuk putrinya atasanku yang dulu, ke RSCM
tapi karena suatu kesibukan yang tak bisa kutinggal akhirnya aku melewatkan
“ladang ibadah” itu. Sepulangnya dari sana si teman bercerita tentang keadaan
putrinya atasan yang makin memburuk dan diujung cerita dia mengatakan “kasian
banget lihat si Ibu, beliau kelihatan lelah bahkan sampai seperti lupa mengurus
dirinya sendiri rambutnyapun tak sempat disisir”. Entah kelelahan jiwa seperti
apa yang ditanggung si Bunda berhati mutiara itu menghadapi kenyataan penyakit
langka yang diderita putrinya sejak kecil hingga wafatnya di usia ke-21 tahun. (beberapa
teman mengatakan penyakit yang diderita adalah penyempitan pembuluh darah di
kepala yang mengakibatkan suply oksigen ke otak menjadi terganggu/tidak stabil---maaf
kalau salah bahasa medisnya!). Semoga surga dan segala isinya bisa Ibu nikmati
bersama putri Ibu kelak ya Bu, Amin.
Dua kondisi berbeda tapi satu
muaranya, yaitu dalam kondisi dimana ada anggota keluarga yang sakit parah maka
tidak saja si sakit yang butuh pengobatan tapi lebih dari itu orang-orang
terdekat si sakit terutama yang memang 24 jam menemani dan merawat si sakit
sejatinya juga amat sangat butuh perawatan, dalam hal ini perawatan jiwa.
Mereka adalah orang-orang dengan kondisi jiwa yang rapuh, mungkin putus
pengharapan, dan kadang tidak tahu harus bagaimana.
Teringat olehku saat putriku
dirawat di RSCM dulu, dalam kondisi jiwa yang benar2 tidak siap aku menjalani
pengobatan putriku, kondisi diperburuk karena suami harus bolak-balik
Jakarta-Kalbar (saat itu suami masih bertugas di Ketapang Kalimantan Barat).
Merasa sendiri dan tak berdaya meskipun banyak sahabat yang mengulurkan tangan menawarkan
diri untuk support disela-sela jam kerja mereka (teman2 KPP Duren Sawit
kebaikan kalian mudah-mudahan mendapatkan balasan-Nya, amin) juga
Saudara-saudara baik dari pihak suami atau pihakku semua siaga bila diperlukan,
tapi aku merasa yang kuperlukan saat itu hanyalah suamiku untuk terus 24 jam
ada disampingku (padahal itu tidak mungkin mengingat beliau harus juga berjihad
dipedalaman sana).
Diagnosa leukemia stadium 3
benar2 membuatku berada dipuncak keputusasaan meskipun banyak teman2 yang
menasehatiku bahwa semua penyakit pasti ada obatnya. Lupa mengurus diri, lupa juga melakukan
kewajiban dasarku sebagai manusia yaitu sekedar makan dan sekedar istirahat,
berhari-hari dan berminggu-minggu.
Yang ada dikepalaku saat itu adalah
bahwa waktuku bersama Milta tak lagi banyak maka sebanyak waktu yang kupunya
itu aku ingin menghabiskan bersamanya, melakukan hal-hal yang dia suka.
Menyanyikan lagu Vierra (meniru kakaknya), lagu Rossa (meniruku) dan D’Masiv (meniru
embaknya) kesukaannya lalu berakhir dengan tepuk tangan kami berdua, mainan tos
kaki kanan dan kiri lalu berakhir dengan tawa berderai-derai, main pesawat
terbang dengan kedua kakiku dimana dia akan berteriak “lempar-lempar”, melihat
album foto di HP saat main bola dan naik odong2 (dia suka sekali melihat foto
naik odong2) lalu aku mengingatkannya tentang saat indah yang ada di foto itu,
meniup tempat minum tupperware-nya dengan sedotan hingga berbunyi lalu
terbahak-bahak, melakukan apapun yang bisa membuatnya tertawa dan bilang “Ita
sayang mimi”. Maka demi tawanya aku lupa segala-galanya, apalah artinya
menyisir rambut bahkan tidak makan dan tidak tidurpun jadi hal yang biasa
untukku hanya demi tak mengurangi waktu bersamanya.
Diminggu kedua perawatan ketika
protocol kemoterapi telah dimulai, Miltaku yang lucu tak lagi bisa duduk,
meskipun sudah kuprediksi tapi tak urung kondisi ini membuat pertahananku
rontok hingga ke titik nadir lalu aku jatuh sakit. Ya, di pavilion Tumbuh
Kembang Nomor 11 RSCM itu akhirnya ada 2 pasien, yaitu aku dan peri kecilku.
Di atas kertas penyakit yang aku
derita mungkin tak penting, dokter pun hanya bilang kelelahan yang berlebihan.
Beberapa co ass yang cukup terbuka bilang kemungkinan aku berada dalam kondisi
depresi dimana pada beberapa kasus depresi
ini dapat berupa jantung yang terus menerus berdetak keras seperti yang terjadi
padaku, lalu ketika tubuh dibawa berbaring terasa menggigil hingga terguncang
padahal suhu stabil. Apapun nama sakitnya, buatku pribadi kondisi ini teramat membingungkan
dan menakutkan hingga aku mengajukan pernyataan bodoh pada-Nya waktu itu “Ya
Allah entah siapa yang akan Engkau panggil lebih dulu, aku atau Milta, aku
mohon mudahkanlah jangan Engkau buat berliku jalan kematian ini karena aku tak
lagi sanggup”.
Aku menyebutnya sebuah pernyataan
bodoh dan aku menyesal telah mengucapkannya walaupun di dalam hati karena
lihatlah betapa sombongnya aku ini, seperti mendahului takdir, seperti tak
percaya jalan yang hendak Dia pilihkan, Astagfirullah, Astagfirullah!
Belakangan aku baru tau bahwa kondisi
sakit yang kualami tersebut tak terlalu ganjil ketika kubaca di media massa ada
satu keluarga miskin dari daerah Jawa Barat yang balitanya dirawat di RSCM
menggunakan kartu miskin (setelah sebelumnya keluarga ini terlunta2 dijalanan
mengumpulkan sumbangan untuk balitanya yang menderita tumor ganas lalu diblow up oleh seorang wartawan hingga
akhirnya mendapatkan perawatan di RSCM). Si anak dikabarkan kondisinya membaik diawal
perawatan tapi yang mengejutkan, bundanya yang dari awal sehat-sehat saja
meninggal di hari ke 5 perawatan anaknya, tak diberitakan karena sebab apa. Aku
menangis untuk bunda ini, karena sekali lagi sedikit banyak aku tahu tekanan
seperti apa yang dia alami. Tak lama setelah kepergian bundanya, si anak
mendapat kesembuhannya yang abadi, Innalilahi. (Semoga disurga kalian bisa
bermain bersama, melanjutkan apapun yang tak pernah sempat kalian lakukan
didunia).
Ada benang merah disemua
kejadian-kejadian itu dan itulah yang ingin kusampaikan agar kita bisa belajar,
bukankah hingga kita mati kita ini akan tetap jadi pembelajar, baik belajar
dengan cara-cara yang kita sukai ataupun belajar dengan cara-cara yang kita
benci. Jangan pernah abaikan mereka, rawat jiwanya, kuatkan hatinya, pupuklah
pengharapannya karena ketika seorang yang kita cintai sakit dan disampingnya dia
ditunggui oleh orang tercinta yang kuat jiwa dan raganya maka itu akan serupa dengan
sebuah kerajaan dengan pertahanan dan pengamanan ganda. Semoga kita selalu
sehat, Amin.
29 Juni 2013, tengah malam yang
sunyi!
catatan hati tepat dihari
kelahiran bidadari kecilku. Peri kecil! ada banyak hal didunia ini yang tak
pernah dapat dikompromikan yaitu tentang rasa rindu yang membunuh, tentang rasa
sesal yang terus membuntuti, tentang rasa bersalah yang meneror, dan tentang
kenangan2 menyakitkan yang tak pernah mau pergi. Tapi percayalah, mimi mampu
melaluinya!