Tulisan ini juga saya muat di secuilpajak.blogspot.com
Bertahun tahun
lalu saat masih bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Duren Sawit yang
notabene adalah daerah hunian yang padat Wajib Pajak Orang Pribadi sekaligus
padat Wajib Pajak Badan jenis Perdagangan Besar dan Konstruksi, kami para Account Representative biasa
diperbantukan untuk jadi peneliti SPT Tahunan yang mau dilaporkan. Jaman
sebelum sistem drob box diberlakukan,
keberadaan tim Peneliti ini wajib kudu ada, karena disamping keberadaan tim
peneliti ini dapat dengan signifikan membantu mengurangi SPT Tahunan Tidak
Lengkap dan SPT Tahunan salah isi (Unbalance)
juga tim peneliti ini dikerahkan untuk membantu Wajib Pajak yang datang dengan
blanko kosong dan mengatakan “pak/bu, ngisinya gimana ya”.
Sudah jadi
habit-nya orang Indonesia yang memegang teguh prinsip “mefet-mefet itu asyik”
(jangan ngeres dong ah), maka pelaporan SPT Tahunan juga akan padat sekali pada
2 atau 3 hari menjelang batas akhir pelaporan. Pada hari-hari itu petugas
pelayanan dan Account Representative ditambah
beberapa petugas yang diperbantukan pulang hingga larut malam. Ini sudah
terkondisikan setiap tahunnya, ada atau tidak ada uang lemburnya (seringnya gak
ada sih). Dan sisi manusiawi itu terlihat jelas saat menjelang jam pelaporan ditutup,
di kursi2 antrian banyak anak-anak dan juga suami-suami yang menjemput ibu/istri
mereka dengan mata sepet karena ngantuk sementara ibu mereka ternyata masih
sibuk coret sana –coret sini (pernah ngalamin 10 menit menjelang jam akhir
pelaporan ada seorang ibu-ibu bendaharawan pemerintah yang membawa setumpuk SPT
Tahunan Orang Pribadi yang masih kosong melompong minta diajarin ngisi SPT satu
persatu yang celakanya setelah dijelaskan berkali2 tetap gak ngerti
jugak----akhirnya kita semua para peneliti saling berpandangan dan tertawa
bersamaan---never ending SPT, batin
kami kompak). Capek berubah jadi hepi saat Kepala Kantor menyalami kami satu
persatu dengan penuh kekeluargaan dan kami saling mengucapkan “selamat ya”. Gak
jelas banget selamat atas apa, yang penting cekikikan time kan?
Menjadi
peneliti SPT Tahunan pada masa itu menyisakan banyak cerita, terutama
menyangkut sikap-sikap Wajib Pajak yang beraneka rupa, here it is ceritanya:
1. Seorang anggota dewan dari fraksi “sesuatu
banget” datang bersama ajudannya yang badannya gempel dan tampang yang
disangar-sangarin. Buatku gak ngaruh sih, mau anggota DPR plus ajudan seramnya
atau sesiapapun yang lapor ya diperlakukan sama dwonk. SPT dicek sana –sini,
dan:
Me :
“Bapak pengisiannya masih belum tepat”, (lalu kujelaskan dengan bahasa yang
seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya)-hayah.
Bapak: “Kok dihitung dengan cara embak jadi kurang ya pajaknya”
(catat! he call me “embak” ya bukan
“embah”).
Me :”Ini
bukan hitungan cara saya pak tapi cara Undang-Undang” (lalu dikeluarkanlah
buku-buku sakti yang memang dipersiapkan untuk mengantisipasi WajibPajak2 yang
ingin tahu banyak).
Beruntung bapak ini kooperatif setelah dijelaskan dan
akhirnya kembali lagi dikeesokan harinya dengan Surat Setoran Pajak tentunya.
Terakhir dia minta pinjam name tag yang
saya pakai katanya untuk dicatat dan you
know what dia bilang gini : “saya kenal dekat dengan Pak Darmin (waktu itu
masih Pak Darmin Dirjennya), nanti saya akan sampaikan nama Anda ke Beliau
supaya anda bisa naik jabatan.
Me :
“Wah pak nggak perlu repot-repot, wong jabatan saya ini sudah mentereng dan dalam
bahasa enggres pula “Account Representative”, dikantor pajak
yang jabatannya dalam bahasa enggres cuma dua lho pak yaitu Account Representative dan Cleaning Service.
(naik jabatan dari hongkong, yang ada juga dipindahin
ke Madya, ooh nooo batin saya menjerit).
Dan si Bapak menjabat tangan saya sambil
terbahak-bahak (yaaa ampun padahal candaan model begini ditelinga orang pajak
basi banget kan?)
2. Seorang bapak datang dengan SPT Tahunan PPh
Badan yang menyatakan Lebih Bayar, dan saya jelaskan bahwa kelebihan bayar akan
dikembalikan namun melalui pemeriksaan terlebih dahulu apakah benar kelebihan
atau kekurangan atau impas, dan ketika akan saya jelaskan tahap-tahap
pemeriksaan itu seperti apa, si Bapak memotong pembicaraan dan dengan dengan
polosnya bilang gini : “ya sudah deh mbak, periksa aja sekarang saya tungguin,
biar uangnya langsung bisa saya bawa”----WHATTTT!!! Diperiksa dan ditungguin
lalu dibayar, hellloo ini kantor pajak ya bukan tempat penukaran uang.
3. Seorang bapak yang mempunyai los beras di Pasar
Induk Cipinang datang kepadaku membawa catatan omset penjualannya selama
setahun, dan sebagai pemilik NPWP baru minta petunjuk untuk mengisi SPT Tahunan
Orang Pribadi untuk pertama kalinya. Batinku terkagum2, satu toko saja bisa
segini besar omsetnya. Pertama kulakukan adalah menghitung cepat berapa
kira-kira PPh terutangnya, dan cukup fantastis untuk ukuran KPP Pratama Jakarta
Duren Sawit. Feelingku mengatakan si
bapak ini akan menolak mentah2 begitu tahu berapa jumlah PPh terutang yang
harus dia setor, maka aku memintanya untuk tandatangan catatan omset tersebut
dan secepat kilat minta tolong OB untuk fotokopi di lantai 3. Sambil menunggu
fotokopi saya jelaskan tata cara penghitungannya dan saat mendebarkan itu tiba,
begitu tahu jumlah pajak terutangnya si Bapak berkata “kalau kayak begini
caranya lebih baik saya gak usah punya NPWP dan gak usah lapor pajak seperti
yang lain”. Si bapak langsung pamit membawa catatan omset yang telah digandakan.
4. Seorang ibu paruh baya, telah selesai mengisi
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun petugas bagain entry mengantarkan ibu ini kembali kepadaku, usut punya usut ibu
ini ternyata ingin Tanda Terima SPT-nya yang warna kuning itu atas nama
dirinya. Berhubung NPWP itu milik suaminya mau tak mau yang muncul adalah nama
suaminya. Setelah dijelaskan panjang kali lebar kali tinggi si ibu ini
tiba-tiba muntab dan secara berapi-api mengatakan“pokoknya saya nggak mau tau,
saya mau lapor SPT atas nama saya, saya benci lihat nama suami saya, baj****
tukang selingkuh, bla bla bla” sumpah serapahnya yang membabi buta menunjukkan
kebencian yang amat. Sebagai sesama perempuan (ecieee) daku mendekati secara
hati ke hati, kujelaskan bagaimana caranya supaya bisa punya NPWP sendiri dan
membuang jauh-jauh suami liarnya itu (kalau gak salah ibu ini dulunya pernah
berprofesi sebagai notaris). Setelah tenang ibu ini bercerita bahwa suaminya
jadi gila harta sejak punya selingkuhan sampai-sampai dia dipersulit untuk bisa
berpisah dengan suaminya tak lain tak bukan karena masalah gono-gini, dan dia
berkata diujung curhatnya “saya nggak ada cemburu sama sekali mbak, ini masalah
harga diri yang diinjak-injak”. Saat itu perasaanku bercampur aduk, dan lebih
bercampur aduk lagi saat kulihat antrian yang menjadi jatahku mulai memanjang
karena untuk ibu ini saja saya menghabiskan waktu hampir 30 menitan. Oalaah ono
ono wae.
Matraman penuh kenangan,
sekitaran 2007 s/d 2008
No comments:
Post a Comment