29 June 2013

KAMU TIDAK PERNAH SENDIRI (Sebuah Catatan Hati)



Membezuk seorang teman yang dirawat karena kanker payudara stadium 4 di sebuah rumah sakit di daerah Rawamangun Jakarta Timur menyisakan catatan tersendiri untukku. Mungkin ini bisa memberi manfaat atau sekedar memberi pencerahan hati buat temen-temen pembaca (mudah-mudahan) maka aku share disini.

Saat aku bezuk, kondisi temanku ini sudah sedemikian parahnya dan yang membuat aku terenyuh tidak saja kondisi si teman ini tapi juga suaminya yang tentunya sudah sedemikian lamanya mendampingi istrinya mencari pengobatan. Wajahnya teramat lelah, tentunya bukan karena dia tak lagi sayang pada istrinya atau karena dia bosan merawat istrinya…yang kulihat adalah potret sebuah keputusasaan dan kelelahan jiwa yang tak tergambar betapa berat melaluinya. Seandainya dia perempuan, ingin sekali aku memeluknya, menghiburnya dan manabahkannya, ya..karena aku tahu persis rasanya berada dalam posisi dia.

Tak berapa lama setelah kejadian itu, seorang teman mengajakku untuk bezuk putrinya atasanku yang dulu, ke RSCM tapi karena suatu kesibukan yang tak bisa kutinggal akhirnya aku melewatkan “ladang ibadah” itu. Sepulangnya dari sana si teman bercerita tentang keadaan putrinya atasan yang makin memburuk dan diujung cerita dia mengatakan “kasian banget lihat si Ibu, beliau kelihatan lelah bahkan sampai seperti lupa mengurus dirinya sendiri rambutnyapun tak sempat disisir”. Entah kelelahan jiwa seperti apa yang ditanggung si Bunda berhati mutiara itu menghadapi kenyataan penyakit langka yang diderita putrinya sejak kecil hingga wafatnya di usia ke-21 tahun. (beberapa teman mengatakan penyakit yang diderita adalah penyempitan pembuluh darah di kepala yang mengakibatkan suply oksigen ke otak menjadi terganggu/tidak stabil---maaf kalau salah bahasa medisnya!). Semoga surga dan segala isinya bisa Ibu nikmati bersama putri Ibu kelak ya Bu, Amin.

Dua kondisi berbeda tapi satu muaranya, yaitu dalam kondisi dimana ada anggota keluarga yang sakit parah maka tidak saja si sakit yang butuh pengobatan tapi lebih dari itu orang-orang terdekat si sakit terutama yang memang 24 jam menemani dan merawat si sakit sejatinya juga amat sangat butuh perawatan, dalam hal ini perawatan jiwa. Mereka adalah orang-orang dengan kondisi jiwa yang rapuh, mungkin putus pengharapan, dan kadang tidak tahu harus bagaimana.

Teringat olehku saat putriku dirawat di RSCM dulu, dalam kondisi jiwa yang benar2 tidak siap aku menjalani pengobatan putriku, kondisi diperburuk karena suami harus bolak-balik Jakarta-Kalbar (saat itu suami masih bertugas di Ketapang Kalimantan Barat). Merasa sendiri dan tak berdaya meskipun banyak sahabat yang mengulurkan tangan menawarkan diri untuk support disela-sela jam kerja mereka (teman2 KPP Duren Sawit kebaikan kalian mudah-mudahan mendapatkan balasan-Nya, amin) juga Saudara-saudara baik dari pihak suami atau pihakku semua siaga bila diperlukan, tapi aku merasa yang kuperlukan saat itu hanyalah suamiku untuk terus 24 jam ada disampingku (padahal itu tidak mungkin mengingat beliau harus juga berjihad dipedalaman sana). 

Diagnosa leukemia stadium 3 benar2 membuatku berada dipuncak keputusasaan meskipun banyak teman2 yang menasehatiku bahwa semua penyakit pasti ada obatnya.  Lupa mengurus diri, lupa juga melakukan kewajiban dasarku sebagai manusia yaitu sekedar makan dan sekedar istirahat, berhari-hari dan berminggu-minggu.

Yang ada dikepalaku saat itu adalah bahwa waktuku bersama Milta tak lagi banyak maka sebanyak waktu yang kupunya itu aku ingin menghabiskan bersamanya, melakukan hal-hal yang dia suka. Menyanyikan lagu Vierra (meniru kakaknya), lagu Rossa (meniruku) dan D’Masiv (meniru embaknya) kesukaannya lalu berakhir dengan tepuk tangan kami berdua, mainan tos kaki kanan dan kiri lalu berakhir dengan tawa berderai-derai, main pesawat terbang dengan kedua kakiku dimana dia akan berteriak “lempar-lempar”, melihat album foto di HP saat main bola dan naik odong2 (dia suka sekali melihat foto naik odong2) lalu aku mengingatkannya tentang saat indah yang ada di foto itu, meniup tempat minum tupperware-nya dengan sedotan hingga berbunyi lalu terbahak-bahak, melakukan apapun yang bisa membuatnya tertawa dan bilang “Ita sayang mimi”. Maka demi tawanya aku lupa segala-galanya, apalah artinya menyisir rambut bahkan tidak makan dan tidak tidurpun jadi hal yang biasa untukku hanya demi tak mengurangi waktu bersamanya.
Diminggu kedua perawatan ketika protocol kemoterapi telah dimulai, Miltaku yang lucu tak lagi bisa duduk, meskipun sudah kuprediksi tapi tak urung kondisi ini membuat pertahananku rontok hingga ke titik nadir lalu aku jatuh sakit. Ya, di pavilion Tumbuh Kembang Nomor 11 RSCM itu akhirnya ada 2 pasien, yaitu aku dan peri kecilku. 
naik odong2
naik odong2

Di atas kertas penyakit yang aku derita mungkin tak penting, dokter pun hanya bilang kelelahan yang berlebihan. Beberapa co ass yang cukup terbuka bilang kemungkinan aku berada dalam kondisi depresi dimana  pada beberapa kasus depresi ini dapat berupa jantung yang terus menerus berdetak keras seperti yang terjadi padaku, lalu ketika tubuh dibawa berbaring terasa menggigil hingga terguncang padahal suhu stabil. Apapun nama sakitnya, buatku pribadi kondisi ini teramat membingungkan dan menakutkan hingga aku mengajukan pernyataan bodoh pada-Nya waktu itu “Ya Allah entah siapa yang akan Engkau panggil lebih dulu, aku atau Milta, aku mohon mudahkanlah jangan Engkau buat berliku jalan kematian ini karena aku tak lagi sanggup”.

Aku menyebutnya sebuah pernyataan bodoh dan aku menyesal telah mengucapkannya walaupun di dalam hati karena lihatlah betapa sombongnya aku ini, seperti mendahului takdir, seperti tak percaya jalan yang hendak Dia pilihkan, Astagfirullah, Astagfirullah!

Belakangan aku baru tau bahwa kondisi sakit yang kualami tersebut tak terlalu ganjil ketika kubaca di media massa ada satu keluarga miskin dari daerah Jawa Barat yang balitanya dirawat di RSCM menggunakan kartu miskin (setelah sebelumnya keluarga ini terlunta2 dijalanan mengumpulkan sumbangan untuk balitanya yang menderita tumor ganas lalu diblow up oleh seorang wartawan hingga akhirnya mendapatkan perawatan di RSCM). Si anak dikabarkan kondisinya membaik diawal perawatan tapi yang mengejutkan, bundanya yang dari awal sehat-sehat saja meninggal di hari ke 5 perawatan anaknya, tak diberitakan karena sebab apa. Aku menangis untuk bunda ini, karena sekali lagi sedikit banyak aku tahu tekanan seperti apa yang dia alami. Tak lama setelah kepergian bundanya, si anak mendapat kesembuhannya yang abadi, Innalilahi. (Semoga disurga kalian bisa bermain bersama, melanjutkan apapun yang tak pernah sempat kalian lakukan didunia).

Ada benang merah disemua kejadian-kejadian itu dan itulah yang ingin kusampaikan agar kita bisa belajar, bukankah hingga kita mati kita ini akan tetap jadi pembelajar, baik belajar dengan cara-cara yang kita sukai ataupun belajar dengan cara-cara yang kita benci. Jangan pernah abaikan mereka, rawat jiwanya, kuatkan hatinya, pupuklah pengharapannya karena ketika seorang yang kita cintai sakit dan disampingnya dia ditunggui oleh orang tercinta yang kuat jiwa dan raganya maka itu akan serupa dengan sebuah kerajaan dengan pertahanan dan pengamanan ganda. Semoga kita selalu sehat, Amin.



29 Juni 2013, tengah malam yang sunyi!
catatan hati tepat dihari kelahiran bidadari kecilku. Peri kecil! ada banyak hal didunia ini yang tak pernah dapat dikompromikan yaitu tentang rasa rindu yang membunuh, tentang rasa sesal yang terus membuntuti, tentang rasa bersalah yang meneror, dan tentang kenangan2 menyakitkan yang tak pernah mau pergi. Tapi percayalah, mimi mampu melaluinya!

No comments:

Post a Comment